Kini Marina tidak lagi jaya. Ia bukan atlet lagi, dan tentu saja, usianya sudah paruh baya, 47 tahun. Sang juara itu pun harus berjuang keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Saat ini ia beralih menjadi sopir taksi.
Setiap hari pagi-pagi buta, Marina harus membelah jalanan. Saat kebanyakan orang masih pulas dalam tidurnya, ia sudah harus berangkat ke pool taksi Blue Bird yang terletak di Buaran, Jakarta Timur. Kemudian mencari penumpang menjelajah seantero Jakarta.
Maklum hidup Marina sekarang bisa dibilang pas-pasan. Rumah belum dimilikinya.Apalagi setelah ia berpisah dengan suaminya, Rainer Nurdin, pada 1990. Perempuan yang juga menjadi juara tingkat Asia di Singapura itu, terpaksa harus menghidupi sendiri kedua anak perempuannya yang masih kecil, yaitu Ayu Yulinasari dan Rima Afriani Caroline.
Sejak saat itu ia pun mulai kerja apa saja untuk mencari nafkah. Awalnya Marina bekerja sebagai sopir taksi, pada 1991. Namun 3 tahun kemudia ia berhenti. "Setelah berhenti, saya bekerja apa saja. Pernah dagang kue, nasi, sampai jadi peran pembantu di film. Dan Januari 2011 saya masuk lagi ke Blue Bird," ujar Marina kepada detik+.
Sekalipun pernah mengharumkan nama bangsa di tingkat Asia, tidak banyak yang diterima Marina dari pemerintah. Ia mengaku hanya sempat mendapat beasiswa Supersemar selama 1 tahun dari Presiden Soeharto saat itu. Beasiswa yang diterimanya per bulan Rp 100 ribu. Setelah itu tidak ada perhatian apa-apa lagi.
Perhatian pemerintah mampir pada Marina ketika tidak sengaja ia bertemu dengan pegawai Kemenpora bernama Karsono, Juni 2011. Pagi itu Karsono yang tinggal di Kompleks Inkopol, Kranji, Bekasi, naik taksi yang dikemudikan Marina.
Sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, Karsono mengetahui sopir taksi yang ditumpanginya ternyata mantan atlet pencak silat yang berprestasi. Marina merupakan peraih medali emas di SEA Games dan kejuaraan Pencak Silat tingkat Asia di Singapura.
"Pak Karsono kemudian bertanya apakah medali-medali itu masih ada. Saya jawab semuanya masih ada. Begitu juga dengan dokumentasi saat saya meraih penghargaan itu," kenang Marina.
Setibanya di Kemenpora, Karsono minta Marina ikut masuk. Marina diajak ke lantai 7 untuk bertemu dengan Yuni Purwanti, yang bertugas mengurusi para mantan atlet.
Kemenpora memang memiliki program tunjangan rumah untuk mantan atlet yang berprestasi. Sayang tidak banyak atlet yang tahu soal program itu. Marina beruntung karena kebetulan bertemu Karsono yang memberitahu dan membantunya untuk mendapatkan tunjangan tersebut.
Marina kemudian diminta membawa medali berikut piagam penghargaan yang pernah ia dapatkan untuk mengurus tunjangan rumah. Wanita blasteran Jerman-Jawa itu selama ini memang masih menumpang di rumah orang tuanya di daerah Bintara, Bekasi Barat.
Namun proses untuk mendapatkan tunjangan rumah sebesar Rp 125 juta memang tidak mudah. Paling tidak ia harus menunggu 3 bulan untuk ditetapkan sebagai mantan atlet yang berhak mendapat tunjangan itu. "Kata Bu Yuni tunjangan itu harus melalui persetujuan beberapa pihak. Jadi saya disuruh berdoa saja," cerita Marina kepada detik+.
Akhirnya pada 9 September 2011, tunjangan rumah dari Kemenpora diterima Marina. Tentu saja tunjangan itu membuatnya senang. Paling tidak tunjangan itu bisa dimanfaatkan Marina sebagai bekal jika sudah tidak lagi menjadi sopir taksi.
Hidup pas-pasan juga dialami Hapsani, peraih medali perak dan perunggu di SEA Games 1981 dan 1983. Bahkan mantan atlet lari estafet 4 x 100 meter ini terpaksa menjual medali yang diperolehnya ke pasar loak di Jatinegara Jakarta Timur, pada 1999.
"Suami saya terpaksa menjual medali-medali itu untuk beli makanan. Sebab saat itu suami saya menganggur," jelas Hapsani yang kini telah berusia 50 tahun.
Kondisi perekonomian Hapsani dan suaminya, Muhammad Hatta, memang sangat memprihatinkan. Meski usia keduanya sudah senja, namun hingga saat ini mereka belum juga memiliki rumah. Pasangan ini masih menumpang di rumah orang tua Hapsani di daerah Salemba, Jakarta Pusat.
Untuk menutup kebutuhan sehari-hari, Hapsani bergantung dari penghasilan suami yang bekerja serabutan. Selain itu ia juga berupaya mencari tambahan dengan menjadi pelatih atletik untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Penghasilan yang didapat itu tentu saja tidak seberapa.
Kisah Marina dan Hapsani merupakan gambaran nyata betapa tragisnya nasib sejumlah mantan atlet yang dulu pernah berjasa mengharumkan nama bangsa. Mereka terpaksa hidup pas-pasan, membanting tulang untuk menyambung hidup usai pensiun sebagai atlet nasional.
Selain Marina dan Hapsani, sebenarnya masih banyak mantan atlet berprestasi yang nasibnya sengsara. Hanya saja pemerintah mengaku kesulitan untuk mencari informasi keberadaan mereka.
"Kami sulit mencari tahu keberadaan mereka sebab alamatnya sudah berubah. Kami berharap masyarakat yang mengetahui ada mantan atlet berprestasi yang hidupnya susah segera laporkan ke Kemenpora," kata Menpora Andi Mallarangeng.
Ketua Ikatan Atlet Nasional Indonesia (IANI) Icuk Sugiarto menilai pemerintah kurang serius memperhatikan nasib para atlet. Bila pemerintah serius, sebenarnya mudah saja menemukan atau mencari tahu nasib para mantan atlet yang dulu pernah meraih prestasi.
"IANI saja yang berdiri sejak 2005 memiliki database nama-nama atlet dari tahun 1951 sampai sekarang. Kan aneh kalau pemerintah yang punya infrastruktur justru tidah tahu data para atletnya. Apalagi atlet-atlet yang dulu berprestasi," ujar Icuk, yang juga mantan atlet bulutangis.
Menurut catatan IANI, pada 2007 terdata setidaknya atlet yang pernah meraih medali emas di tingkat SEA Games jumlahnya 1.500 orang. Untuk tingkat Asean Games jumlahnya sekitar 90 orang, dan tingkat dunia jumlahnya kurang dari 75 orang. Belum lagi peraih medali perak dan perunggu.
No comments:
Post a Comment